Ketika Seorang Ibu Bercita-cita

I'm going to talk about dream. Masih berhubungan dengan postinganku kemarin, aku menyebutkan bahwa faktor nomor 1 dalam manajemen waktu adalah memiliki tujuan dalam hidup.

Saat ini aku sedang dilema oleh jalan menuju tujuan itu, yang sudah pasti adalah SurgaNya. Aku dilema oleh cita-citaku yang baru menggebu-gebu dengan cita-citaku juga untuk Ahnaf. 

Kalau kita kembali ke masa sebelum aku menikah, cita-citaku hanya satu. Berhasil mengurus suami dan sukses membangun anak. Yah, itu masih menjadi satu-satunya impianku, hingga aku berkecimpung di dunia karir.

Tak pernah kusangka akan muncul ambisi dalam diriku yang plegmatis ini. Dulu aku sangat menikmati jalannya hidup seperti air tanpa mimpi dan rencana. Hidup di dunia bagiku dahulu, adalah selamanya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena semuanya sudah digariskan oleh Allah, dan Allah Maha Penyayang.

Pemikiran yang lugu. Seperti pikiran masyarakat pedalaman yang selalu merasa puas hingga tak pernah berpikir untuk meningkatkan kualitas dirinya. Aku memang seperti itu.

Dan kemudian aku mengandung seorang anak perempuan, -yang sekarang menjadi bidadari kecil di Surga-. Ia begitu spesial, sebab dari mengandungnya, Allah memberiku hidayah. Heum. Magerku hilang tak berbekas. Yang ada cuma semangat bekerja dan bersosialisasi.

Aku yang mati-matian sulit melawan godaan main game, tiba-tiba menjadi haters game nomor satu. Drama yang sering aku habiskan waktu dengannya tanpa merasa bersalah, kini begitu sulit untuk menyelesaikan satu episode saja. Kayak aku udah ngabisin waktu berjam-jam, padahal satu jam pun belum.

Pokoknya mageran jadi ga nyaman! 

Emezing kan :'

Nah, disaat itulah aku merumuskan cita-cita. 
Apa tujuanku hidup? 
Untuk apa Allah menghadirkanku ke dunia?
Apa peranku disini? 
Dan bagaimana jalanku untuk kesana?

Intinya aku mendapatkan apa yang ingin aku lakukan di dunia setelah menjawab pertanyaan diatas. 

Seiring berjalan waktu, dengan terpaparnya hamba oleh bacaan dan lingkungan kerja, membuatku kembali merumuskan cita-cita. Perlu aku tambahkan lagi 1 pertanyaan. 

Apa cita-citamu yang tertinggi?

Like in the world i mean. 

Aku akhirnya menemukan ambisi yang menyenangkan. Terlihat mustahil untuk saat ini, tapi juga terasa mendebarkan. Seperti mendapat mainan baru, aku begitu terpecut untuk bergabung di kemendikbud. Sungguh menarik membuat kurikulum itu. Aku jatuh cinta dengannya. 

Namun sekarang, aku berpikir kembali. Untuk meraih cita-cita itu, aku harus belajar dan membuka relasi untuk kesana. Yang artinya aku perlu minimal Internet yang kuat untuk dapat terkoneksi dengan mereka. Aku sudah punya 1 orang kandidat untuk menjadi suhuku yang akan mengajarkanku jalan menuju kesana, sehingga aku bisa menghubunginya lewat sosmed.

Disaat yang sama, Ahnaf tumbuh semakin 'dewasa'. Plat bayinya sudah ditanggalkan dengan resmi setelah ia melepas popok. Apalagi saat ini ia terus ikut denganku ke sekolah, membuatnya terwarnai oleh anak-anak disana. 

Untuk menyelamatkan anakku dan juga keluarga kecilku dari fitnah, aku sudah berazzam sejak dahulu kala untuk tinggal di tanah Haram. Atau di daerah pegunungan juga boleh. Sebab fitnah lebih sulit diakses oleh masyarakat pegunungan. Terutama dengan kondisi jaringannya yang tidak mumpuni.

Nah, kan kontradiktif.

Yang satu tujuannya ke ibu kota, yang satu lagi putar balik ke pedalaman. Aku harus memilih cita-cita untukku atau cita-cita untuk Ahnaf.