January Dump

Satu bulan di tahun baru sudah lewat. Semoga aku tidak banyak menyia-nyiakan waktu untuk sebuah tujuan utama Allah menciptakanku di dunia. 


Semenjak bermigrasi ke rumah nenek, aku kehilangan rutinitasku. Menyedihkan. Seakan aku hanya bisa lebih baik di rumah orangtua, dimana aku mendapat banyak bantuan mengurus rumah tangga disana.


Wah, haha. Bisa-bisanya aku mengatakan jauh lebih baik di baruga daripada disini. Padahal aku ingat dengan jelas, pernah mengeluhkan padatnya pekerjaan domestik di baruga :) Dan kenyataannya jauh lebih padat disini! Mo nangis :)


Aku menginginkan kebebasanku untuk berpergian. Saat tidak ada larangan dan batasan waktu. Rasanya seperti kembali di asrama dimana aku merasa terkekang dan tidak merdeka. Hah aku sangat benci dengan perasaan itu. 


Tak kusangka aku akan mengalaminya lagi.


Dengan kehadiran suami, tidak membuatku bebas secara utuh. Dia sendiri pun banyak kesibukan dan lebih sering keluar rumah. 


Jujur aku iri. Aku ingin bebas seperti dia. Setidaknya tidak ada yang membatasiku berapa lama harus diluar. 


Hmm. 


Januariku diwarnai ketidak bebasan ya. Ataukah ini hanya perasaan yang aku ciptakan sendiri? Tidak. Karena nenek harus ditemani di rumah, aku harus dan tidak punya pilihan untuk keluar terlalu lama. Ah ya Allah. Bantu aku bersabar dan bersyukur. Setidaknya ada banyak pertolongan yang Allah berikan selama ini.


Terutama persoalan memasak yang menjadi momok bagiku. Allah selalu membantuku disini. Ketika nenek ingin memasak dan hanya ada aku di rumah, pasti Allah mengirim seseorang untuk membantuku. Selalu seperti itu. Aku benar-benar bersyukur padaNya.


Seharusnya makanan bukan jadi masalah. Tapi bagi nenekku yang punya lidah pejabat, sulit baginya menerima masakan noob dariku. Entah penampilannya yang meragukan atau memang rasanya yang mengerikan. 


Aku sedih jujur saja haha. Bahkan mertuaku tidak pernah mempermasalahkan makanan. Yang paling mengejutkan adalah meski itu makanan sisa, mereka tetap melahapnya dengan nikmat. Sungguh aku terharu sekaligus membuatku kesal mengingat nenek yang berlebihan dengan makanan.


Mereka disana, di kampung suamiku, memakan apapun yang dihidangkan. Mereka tidak mengomentari masakan orang. Sedangkan keluargaku disini, haha. Aku tak tahu apakah privilege sebagai makhluk perkotaan membuat mereka menjadi food vlogger setiap saat. Seperti tak bersyukur saja dengan makanan yang terhidang. Aku yang memasaknya saja sakit hati apalagi makanan yang ditolak. Mereka memang tidak bisa bicara, tapi aku yakin mereka tahu bahwa ditolak itu menyakitkan.


Yakinlah, bahwa bulan ini adalah pintu masuk ke kejuaraan memasak. Entah apakah aku akan bertahan atau tereliminasi. Keinginanku sih yah eliminasi saja aku! Aku butuh waktuku kembali untuk meningkatkan kemampuan menulis. Soal memasak terserah! Makan saja apa yang kumasak kan? Tak usah bermain peran sebab itu menyebalkan. Selama aku tidak menambahkan garam sebakul, makanlah dengan khidmat. Berterimakasih lah sebab Allah menguatkanku memasak. Bisa saja sebenarnya Allah membiarkan aku jadi hikikimori yang mengurung diri dalam kamar dan tidak ada hidangan tersaji di atas meja. 


Hhh ya ampun. Aku banyak bercerita tentang perasaanku sampai lupa menceritakan hal-hal yang terjadi selama bulan Januari kemarin. :)


Setidaknya aku bisa merangkum cerita ini dengan lebih singkat. Baiklah mari kita mulai.


Awal Januari dibuka dengan drama yang sudah kumuntahkan di atas. Kemudian ada secercah harapan yaitu ketika suamiku tiba dari Madinah. Waktu itu hujan deras turun saat kami semua berkumpul di rumah nenek. Orangtuaku, adikku yang laki-laki, mereka semua ada disini sedang makan bersama. Sungguh menyenangkan. 


Lalu, 3 hari kemudian, aku dan suamiku berangkat menuju kampung halamannya. Disana hujan belum turun sehingga panasnya cuaca mampu memanaskan juga kasur yang kami tempati tidur. Ya Allah serius aku saat itu mengira aku sedang dihukum Allah. Atau memang dihukum karena banyak mengeluh huhuhuhu. Bersyukurnya, suamiku juga mengalami hal yang sama sehingga kami segera angkat kaki dari rumah pukul 1 pagi menuju hotel terdekat.


Lega sekali! 


Esoknya kami bersiap untuk rekreasi keluarga besar ke pantai Bira. Seharian penuh kami menyiapkan makanan. Skill yang kuperoleh selama hari itu adalah bisa mengikat burasa :) 


Di hari H, kami ke pantai Bira dengan menumpang mobil Bapak. Tidak ada yang spesial di jalan selain aku menemukan toilet di daerah gunung yang bersih! Bersih dan harum dengan airnya yang sejuk! Wah ya Allah! Terimakasih atas nikmat yang Engkau berikan padaku saat itu. Akan kuingat selalu dan menjadi saksi untuk mereka yang merawat toilet masjid sebersih itu, huhu.


Tiba di pantai, aku merasa terasingkan karena tak bisa masuk ke circle mereka. Maksudku mereka semua berbicara dengan bahasa Bugis dan aku tidak bisa, jadi aku tersisihkan. Yah tidak mengapa. Toh tujuanku berada disana bukan untuk menambah level perhatian dari mereka. Aku kesana untuk merasakan kamar yang lebih nyaman saja.


Hah! Ternyata aku sendiri pun masih membawa-bawa perilaku perkotaan yang tak berguna.


Menurutku segalanya berjalan normal saja. Bila ada yang spesial, aku bukanlah orang yang termasuk didalamnya. Tentu bagi suamiku itu kenangan yang manis, liburan bersama keluarga kan.


Nah keesokan harinya kami pulang ke rumah nenek lagi. Haha, oke, perasaanku mulai berat ketika masuk di wilayah perkotaan. Daripada merasa ingin kembali ke kampung suami, aku lebih ingin melarikan diri dari penjara yang kubuat sendiri. 


Selama di perjalanan kami asyik mengobrol. Sempat singgah di penginapan karena suamiku ngantuk berat akibat pulang dari pantai Bira langsung main bulutangkis lagi sama temannya. Entah motivasi macam apa yang dia punya sampai mampu menguras energinya seperti itu.


Di restoran yang kami singgahi, kami bertemu dengan ketua partai Golkar yang dulunya seorang bupati Pare-pare. Wah aku takjub sih! Vibesnya beneran beda. Entah apakah karena wajahnya sangat familiar sebab terpampang di beberapa sudut kota atau karena posisi tubuhnya yang always tegak! Ah aku iri dengan posisi tubuhnya itu haha.


Tiba di rumah nenek, aku tak punya energi lagi untuk bermanis-manis. Segera saja kuselesaikan pekerjaan rumah hingga semuanya vice versa! All done. 


Tidak ada yang spesial kurasa selama akhir Januari. Selain hpku yang rusak 2 kali. Mungkin ini cara Allah menghiburku biar bisa keluar rumah lagi. Alhamdulillah terimakasih ya Allah.


Meski banyak yang tidak beres di bulan kemarin, aku bersyukur diberi kekuatan mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengeluhkan keadaan. Selain membawa masakanku ke nenek tentu saja. Aku juga bersyukur diberikan kemampuan mengatur rasa cinta pada suami. Cinta yang kumiliki ini sejatinya milik Allah. Ketika aku menaruh cintaku pada pemilik cinta, rasa kesal pada suami akan berkurang. Aku sudah merasakannya dan akan terus berjuang untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya pemilik hatiku.