Perjalananku dengan Al Quran Semasa Kecil

Hari ini aku mau cerita tentang perjalananku bersama al Quran. Rasanya melankolis aja bagaimana aku dengan al Quran melalui banyak rintangan untuk tetap bersama. :) Yeah sekaligus postingan ini untuk mensyukuri pertolongan Allah sehingga aku berhasil menyetorkan hafalan yang sempat mandeg nyaris sebulan. 

Memang benar yang orang bijak katakan, memulai itu mudah tapi setia butuh perjuangan. Seingatku Quran Review juga pernah mention definisi cinta seperti itu. Soal jatuh cinta pada pandangan pertama beda tipis dengan nafsu, namun menjadi setia dengan pasangan butuh komitmen yang kuat, ga bisa dibecandain sama sekali. Sekali berlabuh pantang surut ke pantai -kata orang Bulukumba. Pokoknya sekali kita memulai sesuatu, jangan pernah berhenti sebelum tuntas! Aku harus memperjuangkan yang sudah kumulai, termasuk kegiatan menulis ini. 

Ada banyak hal yang harus kusyukuri dalam diriku, terutama iman dan ketertarikan pada al Quran. 

Sejak kecil, orangtuaku yang paham agama sangat keras mendidikku untuk mengerti huruf hijaiyah. Ada masa di antara pergantian siang dan malam yang paling menakutkan: waktu maghrib. 

Di antara terjepitnya kedua waktu shalat tersebut, ummi mengajarkanku mengaji dengan metode menggebu-gebu. Satu salah berakibat satu putaran di paha. Kalian paham apa maksudku. Kami bisa tahu siapa yang sudah mengaji dengan melihat sebuah stempel biru tak berbentuk;;; 

Sungguh tak mengapa. Kerasnya ummi tak membuatku benci dengan al Quran. Berbeda dengan ilmu lain, seperti matematika misalnya. Aku sempat membenci matematika ketika SMP. Dalam artian aku tak pernah ingin terlibat dengannya. Bila harus bersua, aku akan berjuang untuk menyelesaikan pertemuan kami secepatnya. Sedangkan pada al Quran, aku tetap tertarik dengan kalamullah. Masih merasakan kenikmatan saat membacanya.

Kuakui, aku semasa kecil, menikmati bacaanku yang sudah lancar. Maka di saat Ramadhanku yang ke 9 atau 10, abah mendorong kami untuk khatam. Sebuah harapan besar namun tidak muluk-muluk juga. Toh kami sudah lancar membaca al Quran meski belum pernah khatam.

Satu dua hari pertama Ramadhan, aku dan adikku mampu membaca sesuai target. Ingat, tanpa melangkahi satu ayat pun. Namunnnn, yang tidak habis pikir olehku adalah mengapa selanjutnya aku lebih asyik menambah jumlah ayat yang dilangkahi???? 

Hingga tiba idul Fitri, abah yang sempat senang dan bangga kami khatam, bahkan sampai memberitahu koleganya :(, seperti mendapat petir di siang bolong ketika kami hendak benar-benar mensucikan diri di hari Fitri. 

Kami mengakui keculasan yang kami lakukan selama Ramadhan. Mau tidak mau, ada rasa berat di hati kami yang masih kanak-kanak untuk membawa kebohongan di hari yang suci. Sungguh anak-anak itu terjaga oleh Allah. 

Andai saja fitrah seluruh manusia itu selalu terjaga ya, pasti damai sekali dunia ini. 


Lebih lamaTerbaru