Ada Apa dengan Novel Indonesia?

Aku baru saja menyelesaikan novel karya Zaky Yamani. Katanya dia adalah seorang wartawan sehingga dari pekerjaannya tersebut sedikit banyak memengaruhi cara ia bercerita. 


Jujur aku suka dengan buku sejarah fiksinya, seperti dibawa ke masa lalu di negara Portugal. Cara ia mengawinkan sejarah dan fiksi benar-benar epik dan mengalir sehingga tak terasa berat mengonsumsinya. Justru saking meleburnya kedua genre tersebut, aku tak yakin mana yang nyata dan mana hasil imajinasi penulis. Alias aku memang tak tahu banyak soal sejarah, haha.


Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang menggangguku selama membaca novel ini. Aku tak yakin mengapa hampir di semua novel Indonesia bahkan yang bersematkan best seller tak lepas dari topik pelecehan seksual. Aku memang tidak banyak membaca buku fiksi, hanya saja setiap kali aku mendapatkan kesempatan menang war dari novel-novel di ipusnas, pasti ada saja adegan tak senonoh di dalamnya meski sedikit. 


Aku muak sekali. Apakah tidak bisa kita tidak mengangkat isu itu? Meski kuakui zaman sekarang seks menjadi sebuah candu yang sangat laris, wal iyadzubillah.


Aku hanya sedih. Aku menginginkan bacaan bermutu setidaknya di genre historical fiction, tak perlu mendeskripsikan adegan vulgar yang dapat memancing neuron-neuron syahwat menari bebas. Sekedar menyebutkan faktanya saja, aku rasa cukup. Tak perlu dinarasikan lagi.


Atau malah memang di genre tersebut yang justru banyak sekali hikayat seksnya :( Sepanjang sejarah manusia, yang paling menarik untuk diceritakan tentu saja drama kerusakan manusia, dan penyebab utamanya tidak lain tidak bukan: nafsu syahwat. 


Yah perempuan terlalu berbahaya. Syaitan selalu berhasil menghancurkan si pemimpin keluarga lewat perempuan. Musuh kita tahu sekali rupanya kalau keluarga hancur, hancurlah seluruh peradaban. Organisasi terkecil memang, efeknya 0.1 persen saja untuk dapat memengaruhi dunia. Tapi yang sedikit itu selalu berhasil sebab tak disadari keberadaannya.


Terkait organisasi, ada sebuah organisasi raksasa bernama pemerintah negara. Berhubung sekarang masa kampanye pilpres 2024, para calon presiden sibuk menjual janji-janjinya. Memberantas stunting sampai korupsi, mempertahankan kekuatan negara dari bidang ekonomi, tapi tak ada satupun janji yang dilontarkan untuk membantu ketahanan keluarga. 


Aku pikir ini hal serius. Kebanyakan masalah rumah tangga berawal dari liarnya mata pria dan bebasnya telinga wanita mendengar kata-kata manis dari si bukan muhrim. Ditambah semua itu mudah sekali terpancing dengan media yang banyak menjual murahnya syahwat manusia untuk dijaja.


Kita hidup di masa gempuran perempuan tak berpakaian. Kita berada di era komunikasi tanpa batas dimana semua lawan jenis dapat saling berinteraksi meski berada di dalam kamarnya masing-masing. Untuk yang pertahanan dirinya lemah, akal sehat mereka mudah sekali luruh, hancur lebur akibat terus terpapar oleh dagangan ketelanjangan. Mengesalkan, huhu.


Aku tak berani lagi menyentuh buku fiksi kecuali yang sudah aku kenal tak punya rekam jejak menarasikan fisik wanita atau seks. Bagaimanapun, novel fiksi banyak membantu kita untuk berinovasi dalam mengekspresikan diri. 


Oleh karena itu, bagiku, memilih bacaan fiksi harus dilakukan dengan selektif. Tidak boleh ada adegan lawan jenis memiliki hubungan romantis. Tidak boleh ada kata-kata kotor terlontar. Tidak boleh ada kalimat yang membahayakan iman. Tidak boleh juga menceritakan sebuah inovasi berbuat jahat. Entah aku merasa takut saja bila itu ditiru, naudzubillahi min dzalik.


Melihat persyaratan yang kubuat, sungguh sulit menemukan novel yang berkriteria seperti itu. Ataukah lebih baik aku menghindari bacaan fiksi? Haha. 


Hm :’