Duet Montessori dan Kurikulum Merdeka

Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan ketika mengetahui bahwa sekolah kami yang menggunakan metode Montessori akan mengimplementasikan kurikulum Merdeka. Seusai namanya, baik anak dan guru merdeka dalam proses pembelajaran. Anak bebas mengeksplor minat, guru bebas memfasilitasi anak dengan caranya sendiri.

Setelah mendengar sedikit konsep kurikulum Merdeka atau metode Project Based Learning dari kak Iin, saya menemukan beberapa ‘plot hole’.

Yang pertama, apakah PBL -kita singkat saja- tidak menekankan kerapihan dan keteraturan? Bagi saya merapihkan kembali adalah bentuk tanggung jawab yang mesti dilatih pada anak. Keteraturan juga memberi rasa aman pada anak karena barang yang mereka ketahui posisinya, tetap berada di tempatnya.

Bahkan saya pernah mendapat sebuah buku kecil tentang melatih anak menyusun barang dalam tas. Aktivitas ini akan melatih otak mereka untuk 'mengkotak-kotakkan' barang. Ya, kemampuan klasifikasi. Sebuah kemampuan krusial bagi manusia beradab yang bisa diperoleh dari metode Montessori, salah satunya.

Lalu yang kedua, menurut saya, PBL mungkin lebih cocok untuk anak yang telah tuntas di sensorial. Sebab mereka akan menggunakan berbagai alat dan bahan yang tentunya memerlukan skill motorik halus. Apakah tidak apa-apa bila anak ‘melompati’ satu tahap yang harusnya berurutan dikuasai anak dalam Montessori?

Selanjutnya, apakah keluaran PBL adalah hasil karya? Bila ya, saya harap ada waktu untuk aktivitas motorik kasar lebih banyak dengan paparan sinar matahari. Sinar matahari memberi kehangatan dan semangat pada kita, makhluk hidup. Ini akan menyalurkan ketenangan pada hati anak sehingga mereka bertindak lebih teratur. 

Saran dari WHO untuk anak usia dini, keperluan aktivitas motorik kasar di luar ruangan sebanyak 3 jam. Diharapkan 2 jam diperoleh di sekolah dan sisanya di rumah di sore hari. Tentu saja dengan aktivitas fisik, bukan sekedar duduk selonjoran.

Jugaaa kawan-kawan, perkara motorik kasar agaknya lebih rumit dari yang umumnya orang ketahui. Ada baaanyak sekali aspek yang mesti dilatih pada anak.

Kemampuan fisik motorik anak sangat nampak efeknya kelak ketika dewasa, jauh lebih berdampak dari perkembangan kognitif yang dikejar orang dewasa sejak mereka masih di taman kanak-kanak. Bagi saya, motorik dan sensori adalah nomor 1 untuk kategori fisik.

Bila diringkas, kebutuhan utama pendidikan anak usia dini adalah penanaman aqidah yang benar, cara hidup di tengah masyarakat, kepekaan sensori dan kemampuan motorik kasar.
Baiklah. Anggap kita telah menerapkannya di sekolah Montessori. -Bahkan Montessori pun aku belum tuntas hiks-, rundownnya mungkin seperti ini,
07.30 aktivitas motorik kasar
08.00 baris, penyambutan dengan aktivitas menari bersama, tanya kabar (tubuh, pakaian, perasaan)
08.15 aktivitas motorik kasar (permainan tradisional)
09.15 cuci tangan, makan
09.45 bersihkan kelas, cuci tempat bekal
10.00 shalat dhuha, mengaji dan menghafal
10.30 Montessori
11.00 read a loud, PBL
12.00 pulang

Pertanyaannya, apakah kami mulai bekerja sendiri-sendiri per kelas untuk memfasilitasi minat anak? Apakah minat anak yang dibawa dari rumah -dan tentu saja itu berbeda dengan anak lain-, juga difasilitasi?

Jujur, ini sangat menyenangkan! Aku super antusias pada segala hal berbau dokumen, apalagi tentang PAUD. Efek dopaminnya ke saya lebih tinggi daripada makan kue coklat terenak seluruh dunia (lebaysi). Sangat bersyukur pada Allah, dengan rahmat dan petunjukNya, kak Iin antusias membagikan ilmu yang masih panas. Padahal baru sehari beliau mendarat, kami segera mendapat tumpahan ilmunya yang luar biasa.

Saya sangat menunggu, pelatihan intensif PBL ft Montessori ini. Dan sangat berharap, penuh harap, agar saya dilibatkan dalam proses penyusunan materi yang akan dibagikan pada kami serta mendapat posisi untuk terlibat secara aktif menyusun kurikulum sekolah Adam Hawa.

Baiklah, mohon izin menutup keran otak saya, sudah terlalu banyak luapan kebahagiaan disini. Semoga Allah memudahkan, memberi kita jalan keluar untuk menghasilkan sebuah kurikulum berdampak yang sesuai dengan masyarakat Indonesia Timur dalam mewujudkan generasi Islam tahan angin badai dan angin sepoi-sepoi.